suka tidak suka, aku akan tetap berada disini, akan selalu berada disini, kalau aku sendiri tidak berusaha untuk keluar, yang kubutuhkan hanyalah meluangkan sedikit waktu yang aku punya untuk mencari jalan keluar atau mungkin meluangkan sedikit waktuku untuk membuat jalan baru, meskipun aku harus mencakar tembok-tembok itu untuk bisa keluar, namun apakah semuanya akan terbuka pada saatnya? karena aku sedang berusaha merubuhkan tembok itu dengan cakar-cakar hidupku, tetapi semakin aku berusaha, semakin aku merasa semuanya tetap berada ditempatnya..ilusi-ilusi itu selalu ada disana, menghantui, selalu berkata kalau aku tidak akan pernah bisa keluar..
dengarkan dengan seksama, maka bunyi-bunyi itu berasal dari genderang perang didalam pikiranmu, semakin engkau berusaha, mereka semakin keras memukul genderang itu, apakah menyemangatimu? ataukah malah membuatmu jatuh, aku tidak tahu, namun satu hal yang pasti, suara itu ada disana, mendengarkan dirimu, mendengarkan hatimu...tidak peduli engkau mau bermain bodoh atau pura-pura tidak tahu, telingamu mendengarkan suara itu dengan seksama juga...
tidakkah semuanya terasa ringan seperti bulu yang dilepas ke angin? tidakkah hidup kita benar-benar seringan itu? apakah semuanya hanya ada didalam pikiran kita? apakah memang hidup ini yang ringan? atau kitalah yang membuat seolah-olah hidup ini terasa berat? tetapi tetap, suka tidak suka, kita akan berada disini, dan aku juga berada disini, mendengarkan suara tawa tembok-tembok itu, mereka mentertawakan aku, seakan-akan mengejekku, berkata kalau aku tidak akan pernah bisa keluar dari sini dan cakaran-cakaranku tidak bisa melukai mereka..
genderang-genderang perang itu semakin terdengar, senada dengan denyut jantungku, berdetak semakin keras, semakin cepat, dan dalam hitungan jantungku itulah aku mencakar tembok-tembok itu lebih keras, lebih cepat, lebih bersemangat, ketika nafasku habis, hanya rasa capai yang bisa kurasakan, tetapi tembok itu tetap disana, berdiri kokoh, tanpa terluka sedikitpun, hanya ada bekas-bekas cakaranku saja yang terlihat disana, tetapi tetap tidak bisa merobohkan tembok itu, rasa sakit jemariku kalah dengan sakit di lubuk hatiku, sakit karena aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan, apalagi yang harus aku katakan... apakah aku harus mencoba lagi esok? ataukah aku tidak perlu lagi mencobanya?
Somewhere inside me something disappears, And I try to part with my rust-eaten anger...
Tuesday, July 18, 2006
Thursday, July 06, 2006
(164) Blood and Tears!
setiap malam aku menangis, tanpa tahu apa yang aku tangisi, ketika setiap butir air mataku yang keluar dari sisi mataku kutampung dalam sebuah mangkuk yang bercampur dengan darahku, mereka bercampur dan berbicara seakan membersihkan dosa-dosaku selama ini, tapi terlalu banyak darah yang aku keluarkan daripada air mataku, aku tidak kuat untuk menangis lagi, karena aku tidak tahu lagi apa yang harus kutangisi, semuanya mengapung, lepas dan juga memberikan kepasrahan kepada kehidupanku, terasa begitu enteng pada saat aku menundukkan kepalaku dan mengeluarkan air mataku, tetapi terasa begitu berat untuk mengangkat kembali kepalaku, seakan-akan tengkorak leherku terjaga oleh pen besi yang bisa mematahkan setiap senti dari tengkorak kepalaku, dan terasa begitu letih untuk mencoba mengangkat kepalaku, karena aku tahu beban yang akan kutanggung akan lebih berat, lebih menyiksaku ketika aku bisa mengangkat kepalaku.
dan tanganku pun bergeser dengan tidak sengaja dan menjatuhkan mangkuk yang ada dihadapanku, warna putih bening dan merah itu bercampur menjadi satu, meskipun warna merah itu lebih dominan, dan aku menundukkan kepalaku untuk menjliat tumpahan darah dan air mataku, itu adalah kehidupanku, hidungku melawan, memberontak, menahan bau amis dan juga asin yang dieluarkan oleh darah dan air mataku, namun lidahku tidak mau berhenti untuk terus menjilat tumpahan itu, dan tanpa aku sadari, aku menangis pada saat aku menjilat tumpahan itu, menangis karena aku merasa kehidupan ini begitu amis, bau, asin, tanpa rasa manis disekelilingnya,
semua darah dan air mata dilantai itu sudah masuk kembali kedalam mulutku, dan turun kedalam tubuhku, namun goresan-goresan ditangan dan tubuhku terus mengeluarkan darah itu, aku berlutut diatas tanah yang lantai yang lembab dan dingin ini, meregangkan kedua tanganku, dan memeluk diriku sendiri, menekan keras tubuhku, sehingga darah-darahku itu terus menerus keluar, dan aku masih tetap menunduk kebawah dan terus menangis, masih tanpa mengerti kenapa aku harus terus menangis, rasa sedih ini terus menyelimuti lembut tubuhku, membuat aku merasa malas untuk melepaskan pelukan diriku ini..tetap tidak ada suara dan cahaya dari atas sana, didalam hati kecilku, aku ingin bisa melihat keatas sana, menatap kosong keatas, tetapi tidak ada alasan untuk diriku untuk menatap keatas, untuk apa aku mematahkan tulang leherku untuk bisa menghadap keatas? aku sendiri tidak yakin kalau ada apa-apa diatas sana..bagaimana aku salah mengambil keputusan? bagaimana kalau aku memutuskan untuk menatap keatas namun ternyata tidak ada apa-apa diatas sana? karena apabila aku sudah berani menatap keatas, maka tulang leherku akan patah dan aku akan terus menatap keatas, tidak bisa melihat kebawah lagi, jari-jari tanganku menggeram, menggerutu, menyuruhku untuk menahan rasa sakit yang diakibatkan oleh goresan-goresan ditangan dan tubuhku, memberontak, meminta untuk lepas dari tubuhku...atas atau bawah? apa yang harus aku pilih..
aku bertanya-tanya, apakah akan ada jawaban yang kucari kalau aku berani menatap keatas? atau hanyalah ilusiku saja yang berkata kalau diatas ada sebuah jawaban?
dan tanganku pun bergeser dengan tidak sengaja dan menjatuhkan mangkuk yang ada dihadapanku, warna putih bening dan merah itu bercampur menjadi satu, meskipun warna merah itu lebih dominan, dan aku menundukkan kepalaku untuk menjliat tumpahan darah dan air mataku, itu adalah kehidupanku, hidungku melawan, memberontak, menahan bau amis dan juga asin yang dieluarkan oleh darah dan air mataku, namun lidahku tidak mau berhenti untuk terus menjilat tumpahan itu, dan tanpa aku sadari, aku menangis pada saat aku menjilat tumpahan itu, menangis karena aku merasa kehidupan ini begitu amis, bau, asin, tanpa rasa manis disekelilingnya,
semua darah dan air mata dilantai itu sudah masuk kembali kedalam mulutku, dan turun kedalam tubuhku, namun goresan-goresan ditangan dan tubuhku terus mengeluarkan darah itu, aku berlutut diatas tanah yang lantai yang lembab dan dingin ini, meregangkan kedua tanganku, dan memeluk diriku sendiri, menekan keras tubuhku, sehingga darah-darahku itu terus menerus keluar, dan aku masih tetap menunduk kebawah dan terus menangis, masih tanpa mengerti kenapa aku harus terus menangis, rasa sedih ini terus menyelimuti lembut tubuhku, membuat aku merasa malas untuk melepaskan pelukan diriku ini..tetap tidak ada suara dan cahaya dari atas sana, didalam hati kecilku, aku ingin bisa melihat keatas sana, menatap kosong keatas, tetapi tidak ada alasan untuk diriku untuk menatap keatas, untuk apa aku mematahkan tulang leherku untuk bisa menghadap keatas? aku sendiri tidak yakin kalau ada apa-apa diatas sana..bagaimana aku salah mengambil keputusan? bagaimana kalau aku memutuskan untuk menatap keatas namun ternyata tidak ada apa-apa diatas sana? karena apabila aku sudah berani menatap keatas, maka tulang leherku akan patah dan aku akan terus menatap keatas, tidak bisa melihat kebawah lagi, jari-jari tanganku menggeram, menggerutu, menyuruhku untuk menahan rasa sakit yang diakibatkan oleh goresan-goresan ditangan dan tubuhku, memberontak, meminta untuk lepas dari tubuhku...atas atau bawah? apa yang harus aku pilih..
aku bertanya-tanya, apakah akan ada jawaban yang kucari kalau aku berani menatap keatas? atau hanyalah ilusiku saja yang berkata kalau diatas ada sebuah jawaban?
Subscribe to:
Posts (Atom)