Memang umur tidak pernah berhenti mengajari kita sesuatu. bagiku, dulu umur hanyalah deretan angka yang terus bertambah setiap tahunnya. kini aku berada di batas umurku, meskipun memang umurku belum berakhir - yang aku sendiri tidak tahu kapan berakhirnya - umurku kini mengajariku untuk harus membuat keputusan, besarkah keputusan itu? tentu saja sangat besar, oleh karena itu aku dibuat pusing tujuh keliling oleh masalah desakan umur ini. Aku malu kepada diriku sendiri, merasa berdosa dan bersalah kepada diriku sendiri, karena di umurku yang sudah diambang batas ini aku masih saja tidak berani mengambil keputusan yang besar. aku masih berada di dalam lingkaran-lingkaran khayalan dan kemudian umurku membentakku, menamparku, membantingku dengan kerasnya hingga aku terbangun dari dunia khayalanku. menyeramkan rasanya mengambil keputusan-keputusan besar, karena aku tidak berani dengan resikonya, aku takut akan hasilnya, aku takut akan jalannya. lalu dimana sisi keberanianku? ia mengumpat diantara rasa cemas, khawatir dan juga pesimis. ia mengumpat sambil berjalan mundur menjauh dariku.Namun demikian, umur membautku harus mengejar keberanianku agar aku bisa keluar dari kotak nyamanku yang telah puluhan tahun aku tinggali.
Otakku dipaksa berpikir lebih cepat, hatiku dipaksa mengamini semua keputusan besar karena aku bertarung dengan waktu yang tidak bisa lagi aku putar kembali, mungkin Tuhan sendiri memang memberikan kekuatan agar waktu tidak bisa diputar kembali oleh kita, manusia. Itu semua semata-mata karena agar ada pelajaran yang bisa diberikan kepada kita, semata-mata agar sejelek apapun kita, kita masih bisa diberikan pelajaran, proses yang negatif sekaligus positif jalan bersamaan. terkadang ketakutan membuat kita buta, kita terhalang oleh pikiran kita sendiri, lalu bagaimana mengalahkan pikiran kita? bagaimana mengalahkan ketakutan kita? karena rasa takut itu terasa semakin menghantui begitu kita harus mengambil keputusan itu. pengecutku kini tertawa lebar, menghantui setiap sisi postifi pikiranku dan aku sendiri yang menyuruhnya tertawa.
Bulu kudukku merinding membayangkan prosesku berjalan, namun demikian kontras dengan pikiranku, pikiranku melayang aku akan memperoleh sukses dan mendapatkan apa yang aku mau, namun batinku meronta, menggema berteriak "tidak mau" menjalani prosesnya. Yang aku lakukan adalah memaksa batinku yang pemalas ini untuk mau bergerak, untuk mau bertindak. tidak peduli betapa keras, betapa sakit, betapa susahnya jalan itu. aku harus membuka dan merobek jalan itu agar aku bisa keluar dari ilusi kotak nyamanku ini. Terlepas dari apa kata orang lain soal diriku, aku harus mencoba berdiri diatas kedua kakiku sendiri, karena umurku yang memaksa aku untuk berdiri seperti itu, aku tidak boleh lagi bungkuk, aku tidak boleh lagi lemas, aku tidak boleh lagi menghadap kebawah. Umur membuatku menatap lurus ke depan, menghadap keatas melihat masa depanku yang belum tentu jelas nasibnya saat ini, namun akan terasa indahnya di masa depan.
No comments:
Post a Comment