Monday, May 25, 2009

(209) Enshrouding Darkness

Setiap hari aku bisa merasakan semakin banyak mata yang menatap sinis kepadaku.dan aku bisa merasakan kebencian mereka kepadaku. Mereka melempar semuanya kepadaku … kesalahan, kebencian,amarah, emosi. Dan yang bisa kuberikan kepada mereka hanyalah ketakutan-ketakutanku yang membuat mereka puas saat mereka tahu aku takut kepada mereka. Melewati hidup seperti ini neraka rasanya. Kemana perlindungan pergi? Kapan rasa aman tiba? Tubuhku sudah lelah menahan sakit yang terus menerus menderaku, belum sembuh 1 tulangku yang patah, sudah datang penyiksaan kepada 5 tulangku lainnya. Dan yang bisa kulakukan hanyalah menjerit dan menjerit. Aku menjerit begitu kencang hingga suaraku kadang tak keluar. Aku merasakan panas didalam jantungku dan aku bisa merasakan setiap darahku naik ke kepalaku, mengakibatkan mataku menjadi ingin meledak. Setiap kali aku mengeryitkan mataku, yang terlihat adalah kematian untuk mereka yang mengolok-ngolok aku. Mereka mengambil tanganku dan memukulnya dengan sebatang tongkat besi. “kraak” … bunyi pergelangan tanganku patah dan aku bisa mendengarnya, mereka masih saja memegang tanganku, tidak memberi kesempatan kepada rasa sakit untuk pergi dan memukuli wajahku dengan tinjunya. Entah sudah berapa banyak darah keluar dari mulutku. Dan yang bisa kulihat hanyalah kematian yang tak pernah datang, kematian hanya duduk dan tersenyum di singgasananya yang berwarna kelabu.
Kini aku bersumpah atas darahku sendiri didepan tembok yang besar ini, aku akan membunuh mereka yang mengolok-olok aku. Aku ingin sekali merobek perlahan kulit mereka.aku akan melakukan itu. Tidak perduli berapa banyak lagi tulang yang akan patah dari tubuhku, berapa banyak lagi darah yang harus aku tumpahkan, aku akan menarik keluar kedua bola mata mereka yang menatap sinis diriku. Aku mengejar mereka satu per satu, aku memburu mereka seperti kesetanan, dan saat mereka berada didalam jangkauanku, mata mereka terlihat seperti mata anak kecil. Seperti bayi yang meminta untuk tidak dibuang, mungkin mataku seperti itu dulu, namun kini aku sudah berubah, aku menusukkan batang pipa ke jantung mereka dan teriakan mereka adalah nyanyian kemenangan untukku, aku menarik keluar jantung mereka agar mereka dapat merasakan betapa sakitnya jantungku ini saat mereka mengolok-olok aku. Hanya bunyi nafas yang terkikik-kikik yang keluar dari mulut mereka saat aku menarik keluar jantung mereka dan aku sangat menyukai suara itu. Itu adalah suara kemenangan untuk jiwaku. Aku mendengar mereka meminta belas kasihan kepadaku, namun aku sudah bersumpah atas darahku sendiri, tidak akan ada lagi pengampunan untuk mereka. Dimana kekuatan kalian sekarang saat aku sudah mulai meminta darah kalian? Kalian hanya bisa mengerang kesakitan, memohon ampun dan meminta agar aku mengasihani kalian .. jangan harap itu terjadi. Aku ingat akan suara-suara tulangku yang patah, aku ingat akan bau darah yang keluar dari mulutku saat kalian memukuli wajahku. Aku ingat semuanya dan aku membawa itu semua kedalam mimpiku. Namun aku tidak meminta apa-apa, yang kulihat hanyalah kematian yang tidak pernah datang.
Kini semuanya telah mati, darah mereka ada ditanganku, darah ayah, ibu dan adikku. Mereka telah menganiayaku karena aku tidaklah sama seperti mereka, tubuhku berbeda seperti mereka, penyakit ini terus menggerogoti diriku sejak aku lahir, namun penderitaaanku sudah berakhir. aku tertawa puas dan aku masih bisa melihat kematian duduk di singgasananya, masih tersenyum. Aku melihat kepadanya dan berpikir kenapa kematian tersenyum kepadaku? Apakah dia ingin aku membunuh mereka? Atau apakah kematian sedang mengejekku karena aku mengambil cara yang salah. Tidak, atas darahku sendiri aku sudah bersumpah, aku akan meniadakan semuanya. Aku mengepalkan tanganku dan menunjuk kearah kematian itu sendiri. Dia bangun dan bertepuk tangan. Singgasananya menjadi jauh lebih kecil saat dia bangun. Aku bisa mendengar tawanya menggelegar di telingaku, menakutkan dan sangat menakutkan, seperti suara binatang yang siap menerkam kematian itu tertawa. Kini dia berdiri diatas tembok yang berceceran darah dengan tulisan sumpahku. Dia mengangkat tangannya, dan menarik jiwaku kepadanya. aku ketakutan dan sangat ketakutan, karena sekarang adalah saatnya jiwaku diberikan kepadanya. ini adalah perjanjian yang kubuat antara aku dengan dirinya. Jiwaku untuknya… ini adalah perjanjian yang aku buat dari darahku sendiri ditembok itu kepada kematian sebelum aku mulai membunuh mereka.

No comments: